Semua orang tua boleh dibilang menghendaki yang terbaik untuk anak-ananknya. Kita mendisiplinkan, mendorong, dan menasihati buah hati agar mereka berhasil mengarungi gelombang yang terkadang menghanyutkan pada masa kanak-kanak ataupun remaja. Orang tua juga tidak mungkin dengan sengaja melakukan sesuatu yang membahayakan atau melukai buah hati.
Dalam semangat memberikan keterampilan untuk hidup efektif dan sistem nilai yang kokoh, terkadang orang tua tanpa sadar menanamkan sebuah ‘ranjau mental’. Ranjau atau perangkap mental ini berupa keyakinan-keyakinan yang menyebabkan anak terjebak pada kondisi yang kurang positif, yang memiliki efek sangat besar pada kehidupan masa depannya. Beberapa jenis ranjau mental adalah sebagai berikut ini ini :
· Harus menjadi yang terbaik dalam segala hal
Ada garis tipis yang memisahkan antara memotivasi anak-anak untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya dengan memupuk keyakinan yang salah bahwa ‘anak harus menjadi yang terbaik dalam segala hal’. Perangkap atau ranjau mental ini tertanam pada saat kita mendorong anak-anak ke dalam aktivitas yang kurang diminati anak. Ranjau mental ini akan tertanam ke dalam benak buah hati setiap kali kita menerima hasil yang kurang memuaskan dari aktivitas yang mereka lakukan.
Apabila ranjau mental mejadi suatu keyakinan dalam diri anak, menyebabkan rasa percaya diri anak mengalami erosi yang sangat drastis. Sangat tidak mungkin bagi seorang anak menjadi ‘yang terbaik’ dalam segala hal. Anak yang merasa tidak menjadi yaang terbaik dengan segera akan meyakini bahwa ia telah mengecewakan orang tua dan diri sendiri. Beberapa orang dewasa yang telah tertanam ranjau ini pada masa kanak-kanaknya sering menjadi mudah marah atau depresi ketika merasa tidak mampu memenuhi apa yang diharapkan oleh orang lain.
· Harus berprestasi
Ranjau mental ini adalah ‘sepupu dekat’ ranjau mental pertama. Sekali lagi, keyakinan ini terbentuk akibat hasrat orang tua yang menginginkan, bahkan cenderung memaksakan anak-anak mereka untuk melakukan segala hal yang mereka perintahkan. Kita semua tentu menginginkan anak-anak bisa sukses dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Hal yang penting untuk dimengerti adalah anak-anak mengalami kesulitan untuk membedakan antara menerima atau menolak (apa yang mereka lakukan). Dengan kata lain, penerimaan dari orang tua terhadap suatu prestasi yang dicapai anak bisa diinterpretasikan oleh anak sebagai rasa cinta terhadap mereka. Sebaliknya, penolakan terhadap sebuah tindakan dapat diartikan bahwa ia tidak dicintai lagi. Kecenderungan ini terutama pada anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun.
Terlepas dari momen sukses atau gagal, anak-anak memang sangat butuh tahu bahwa orang tua mereka mencintai dan menerima mereka. Konsep penting ini disebut ‘cinta tanpa syarat’. Singkatnya, cinta tanpa syarat berarti anak-anak mengetahui bahwa tak ada sesuatu pun yang pernah membuat orang tuanya mengambil kembali cinta dari diri mereka. Kita bisa setuju atau tidak setuju dengan perilaku-perilaku tertentu. Namun, cinta orang tua terhadap anaknya tidak pernah berubah.
· Tidak boleh meluapkan emosi negatif
Orang tua sering menanamkan ranjau mental emosi-emosi negatif yang buruk dalam diri anak-anak karena mereka sendiri tidak nyaman dengan ekspersi emosional tersebut. Akibatnya, orang tua yang demikian ini tidak bisa menjadi model atau peran yang baik bagi anak-anaknya. Ketidakmampuan mereka untuk mengekspresikan dan merespon dengan baik emosi-emosi yang kuat itu juga dikomunikasikan kepada anak-anak mereka. Akibatnya, orang tua seperti ini akan menghalangi pengungkapan rasa marah, takut, dan kelemahan si anak.
· Harus berbuat baik agar disukai semua orang
Ketika masih kanak-kanak, kita secara alamiah belajar untuk berusaha hidup bersama orang lain. Kita diberikan pesan-pesan yang kuat untuk memenuhi keinginan-keinginan orang tua, guru, dan orang-orang lain yang memiliki otoritas pada diri kita. Kita juga didorong untuk bermain dalam keharmonisan dengan teman sebaya dan sebisa mungkin untuk menghindari konflik. Khususnya bagi anak perempuan di masyarakat kita, mereka cenderung rapuh terhadap pesan semacam ini. Sekuat apapun berusaha untuk meminimalkan stereotip yang bias gender, masih saja ditemukan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.
Orang tua masih cenderung mendorong masalah kompetisi dan pencapaian prestasi kepada anak laki-laki. Bahkan orang tua yang berusaha untuk menghindari perbedaan yang bias gender, cenderung mengkondisikan anak perempuannya ke aktivitas yang menyenangkan, terutama yang bersifat menrawat atau mengasuh.
Anak-anak dibesarkan dengan pola pikir bahwa mereka hrus menyenangkan semua orang akan dijejali dengan perasaan ragu, tidak percaya diri, dan seing merasa gelisah. Rasa harga diri anak kita akan selalu berada di bawah kendali orang lain. ‘Jika kamu suka saya, it’s ok. Sebaliknya, jika kamu tidak menykai saya, pasti ada yang salah dengan saya’. Kebanyakan anak-anak dan orang dewasa serius meletakkan harga diri mereka pada opini-opini orang lain. Kondisi seperti itu sangat rentan terhadap hubungan abusive (kasar), tekanan teman sebaya, dan situasi eksploitatif lainnya yang tidak menyenangkan.
· Tidak boleh membuat kesalahan atau minta pertolongan orang lain
Sebuah pesan kuat tentang membuat sebuah ‘kesalahan’ telah terkomunikasikan kepada anak-anak di dalam keluarga. Intinya, kesalahan harus dihindari dengan cara apapun atau disembunyikan bila itu terjadi.
Singkatnya, membuat kesalahan adalah manusiawi. Suatu kenyataan yang tidak mungkin berubah sampai kapanpun. Anak-anak yang mengerti bahwa melakukan kesalahan adalah hal alami dan tidak bisa di hindari akan memiliki rasa penerimaan diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang belum memahami arti kesalahan. Dengan begitu, anak-anak yang memahami arti sebuah kesalahan tidak akan mengayalahkan diri sendiri selama proses mencoba dan memperbaiki kesalahan yang telah dilakukannya.
Dikutip dari 10 Kesalahan Orang Tua Dalam Mendidik Anak, Penulis Kevin Steede, Ph. D. Penerbit PT. Tangga Pustaka.
No comments:
Post a Comment